Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri –semoga Allah senantiasa menjaga dan memberkahi umur beliau– ditanya, “Pada hari sabtu akan datang bertepatan dengan 10 Muharram, apakah boleh kami berpuasa pada hari sabtu tersebut. Lalu apabila ada yang menganggap berpuasa pada hari sabtu tidak boleh kecuali pada puasa wajib, apakah boleh ia mengingkari yang sedang berpuasa?”
Jawaban beliau hafizhohullah,
Aku katakan pertama, hadits larangan mengenai berpuasa pada hari Sabtu terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Kebanyakan ulama menganggapnya tidak shahih. Sebagian menganggapnya shahih, namun yang dimaksudkan dengan larangan tersebut adalah jika memaksudkan puasa karena itu hari sabtu. Padahal telah ada motivasi untuk berpuasa pada hari Arofah, hari Asyura, puasa tiga hari setiap bulannya dan terkadang bertepatan dengan hari Sabtu. Jadi, puasa-puasa tersebut tidak bisa luput dari hari Sabtu. Misalnya yang disebutkan penanya bahwa Sabtu depan adalah 10 Muharram, demikian menurut penunjukkan pada kalender dan akan saya sebutkan lagi masalah ini sebentar lagi. Boleh jadi hari Arafah bertepatan dengan hari Sabtu, boleh jadi pula puasa tiga hari setiap bulannya yang dilakukan oleh seorang muslim bertepatan dengan hari sabtu. Telah shahih dari ‘Aisyah (mengenai puasa tiga hari setiap bulannya, -pen) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَمْ يَكُنْ يُبَالِي مِنْ أَيِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ
“Beliau tidak peduli pada hari apa beliau berpuasa pada bulan tersebut.” (HR. Muslim no. 1160). Hadits ini adalah umum (artinya: bisa jadi hari Sabtu juga beliau berpuasa dengan maksud puasa tiga hari setiap bulannya, -pen). Begitu pula telah shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan pertama berpuasa pada hari Sabtu, Ahad dan Senin. Bulan berikutnya berpuasa pada hari Selasa, Rabu dan Kamis.
Begitu pula pada hadits Abu Hurairah disebutkan,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ إِلَّا بِيَوْمٍ قَبْلَهُ أَوْ يَوْمٍ بَعْدَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada hari Jum’at kecuali jika diikuti dengan puasa pada hari sebelum atau sesudahnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1723, shahih). Lalu setelah hari Jum’at hari apa? Sebelum hari Jum’at adalah Kamis, setelahnya adalah Sabtu. Jadi, barangsiapa yang berpuasa pada hari Jum’at dan Sabtu, tidaklah mengapa. Oleh karena itu, yang dimaksudkan larangan berpuasa pada hari Sabtu setelah mengkompromikan berbagai dalil adalah bagi yang memaksudkan puasa pada hari Sabtunya (kalau memaksudkan puasa Asyura, maka tidak terlarang, -pen). (Fatwa Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri di sini)
Intinya, puasa karena ada sebab boleh dilakukan pada hari Sabtu seperti bertepatan dengan puasa Arafah dan puasa Asyura. Al Lajnah Ad Daimah, komisi Fatwa di Saudi Arabia pernah mengatakan,
يجوز صيام يوم عرفة مستقلاً سواء وافق يوم السبت أو غيره من أيام الأسبوع لأنه لا فرق بينها؛ لأن صوم يوم عرفة سنة مستقلة وحديث النهي عن يوم السبت ضعيف لاضطرابه ومخالفته للأحاديث الصحيحة.
“Boleh berpuasa Arafah secara bersendirian baik bertepatan dengan hari Sabtu atau hari lainnya. Seperti itu tidak ada bedanya. Puasa pada hari Arafah adalah sunnah tersendiri. Sedangkan hadits larangan puasa pada hari Sabtu adalah hadits dho’if karena mudhthorib dan menyelisihi hadits-hadits yang shahih.” (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).
Penjelasan lebih lengkap tentang ini, telah penulis kaji di sini.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, selepas waktu Isyroq, hari Asyura 1434 H